106205033930592209

Sho Yano “Si Anak Jenius”: Umur 12 Tahun Kuliah Kedokteran..!

Pagi itu, seperti juga di rumah keluarga normal lainnya, ibu Sho Yano menyiapkan bekal makan siang untuk anaknya di sekolah – setangkup roti isi dan biskuit diletakkan dalam tas kecil warna coklat. “Kamu tidak membawa tulang hari ini?” tanya Kyung Yano, sang ibu. Si anak menggelengkan kepalanya.

“No bones?” tanya Kyung Yano kembali memastikan. “No,” jawab Sho Yano (12), ketika keduanya berjalan keluar dari pintu apartemen. Tulang yang dimaksud Kyung adalah sampel tulang belakang dan tengkorak manusia untuk pelajaran anatomi.

Sekilas, percakapan itu biasa saja. Tidak berbeda dengan pembicaraan anak sekolah dengan orangtuanya -kecuali satu hal. Anak sekecil itu tidak bersekolah di sekolah lanjutan pertama. Dia mahasiswa tingkat pertama Fakultas Kedokteran di “University of Chicago Medical School“. Di tempat itu, Sho menjadi mahasiswa termuda yang pernah mengikuti kuliah di universitas profesional.

Jika tidak mengambil Ph.D, Sho akan menyelesaikan kuliahnya pada usia 19-20 tahun -mahasiswa termuda yang lulus kuliah kedokteran.

Tapi, Sho tidak tertarik dengan tetek bengek pemecahan rekor itu. Ia juga tidak begitu suka dengan julukan yang sering digunakan untuk anak sejenisnya, seperti “anak ajaib” atau “anak kecil jenius” .

Memang benar, IQ-nya diatas 200. Benar pula, kalau dia lulus hanya dalam waktu tiga tahun dari “Loyola University” di Chicago, dengan predikat summa cum laude. Tetapi, baginya, pergi ke sekolah adalah untuk belajar sebanyak-banyaknya.

“Banyak hal yang harus dipelajari,” katanya bijak, sembari membaca salah satu buku miliknya yang ekstra tebal.

Ketika anak kecil seusianya menghabiskan liburan musim panas dengan berkemah atau pergi ke pantai, Sho malah asyik membedah mayat manusia dan mempelajari seluk beluknya. Nilai ujiannya rata-rata A, jauh lebih baik dari nilai teman-teman kuliahnya yang sepuluh tahun lebih tua.

Pada mulanya, teman-teman kuliahnya sangat berhati-hati menghadapi Sho. Seperti Luka Pocivavsek (22). Pertama kali melihat Sho, dia berpikir bagaimana mungkin anak kecil yang begitu pendiam bisa mengatasi peliknya masalah emosional dan sosial kuliah di kedokteran. Namun, Sho membuatnya terkejut.

“Dia melampaui semua perkiraan saya –dengan cara yang tak terbayangkan,” ujar Pocivavsek. “Meski pemalu pada awalnya, ternyata dia ramah dan suka bergaul. Dan pemahamannya terhadap masalah-masalah sosial dan politik yang begitu rumit sangat tajam dan tepat.”

Namun, dalam beberapa hal, Sho masih seperti anak-anak usia 12 tahun lainnya. Dia punya binatang peliharaan kelinci dan kartu Pokemon . Kadang-kadang juga bertengkar dengan adik perempuannya, Sayuri (7). Meski tidak begitu menyukai Harry Potter, Sho sangat mengagumi buku anak-anak karya Brian Jacques.

Di kampus, teman-temannya sering menggoda Sho –seperti mencarikan pacar untuknya. Mereka juga selalu melibatkan Sho dalam pergaulan, kecuali kalau pergi ke bar atau menonton film untuk orang dewasa.

Mata kuliahnya juga sedikit disesuaikan. Misalnya menunda praktik kerjanya di klinik dengan pasien. Namun, profesor patologi Tony Montag mengatakan “Saya kadang-kadang lupa Sho lebih muda dari teman kuliahnya yang lain.”

“Itu lumrah. Buat saya, mereka semua masih anak-anak. Jadi, Sho tidak begitu terlihat berbeda ketimbang mahasiswa lainnya,” kata Montag, yang mengajar jaringan mikroskopik dalam mata kuliah histologi (ilmu jaringan tubuh).

 Sho Yano lahir di Portland, Oregon, Amerika Serikat. Ia menghabiskan tahun pertama kehidupannya di California, tempat Katsura, ayahnya, mengelola cabang perusahaan perkapalan Jepang. Saat ini, Sho tinggal di Chicago bersama ibunya dan adik perempuannya, Sayuri yang bercita-cita jadi ahli jantung.

Semula, Kyung Yano, ibunya, datang ke AS dari Korea untuk belajar sejarah seni, dan Sho sejak awal sudah menunjukkan diri sebagai anak berbakat .

Kyung ingat, suatu hari ia mencoba mempelajari irama wals karya Choppin dengan piano. Sementara Sho yang masih berusia 3 tahun bermain kereta api di dekat kakinya. Karena frustasi, Kyung istirahat sebentar ke dapur – beberapa saat kemudian ketika kembali, betapa takjubnya Kyung karena Sho sudah memainkan irama yang tadi dipelajarinya mati-matian.

Dalam usia 4 tahun, Sho mampu menggubah lagu. Tiga tahun kemudian, dia mengerjakan pelajaran sekolah menengah atas -diajarkan sendiri oleh orangtuanya karena tak ada sekolah yang dapat mengakomodasinya. Umur 9 tahun, Sho kuliah di “Loyola University” Chicago, dan lulus 3 tahun kemudian dengan predikat summa cum laude.

Bagaimana respon publik terhadap dirinya?

Tanggapan masyarakat -dan beberapa teman kuliahnya – tidaklah selalu positif. Baru-baru ini, Sho menuliskan namanya dalam fasilitas pencarian (search) di internet dan sungguh mengejutkan, dia menemukan komentar orang-orang tentang kehidupannya.

“Ada yang berkata, “Lihatlah anak kecil yang hidupnya menyedihkan dengan ibu yang terlalu ambisius,”” kata Sho mengutip komentar orang di internet. “Tapi orang lain lagi berkomentar positif, “Lihatlah keajaiban Tuhan, dengan orangtua yang memberikan dukungan penuh.”

Sho hanya tersenyum ketika orang lain menduga orangtuanya terlalu memaksanya. “Aku memutuskan hidupku sendiri, dan apa yang ingin aku lakukan,” tegas Sho.

Kyung menimpali, “Sungguh sulit menjelaskan bagimana peliknya memiliki anak seperti Sho. Tetapi kami selalu membiarkan dia memutuskan apa yang diinginkannya.”

Salah satunya contohnya, orangtua Sho tidak menolak ketika Sho memutuskan kuliah di “University of Chicago“, meski itu berarti mereka harus hidup terpisah dengan sang ayah, karena pekerjaan Katsura di California tak bisa ditinggalkan.

Ibunya juga membiarkan Sho memutuskan media mana saja yang diterimanya untuk wawancara. Beberapa bulan lalu, Sho menolak permintaan wawancara untuk acara talk show Oprah Winfrey. Dia bilang pada ibunya, ingin melakukan sesuatu yang “lebih besar” seperti menjadi peneliti hebat atau professor sebelum tampil di TV.

Kepada wartawan CNN Anderson Cooper, Sho berkata, “Aku masuk kedokteran karena ingin membantu banyak orang. Suatu hari nanti, aku berharap bisa melakukan terobosan besar, seperti menemukan obat kanker..”

Kelak, bila semuanya berjalan lancar, Sho menjadi dokter pada usia 19 tahun. Ketika ditanya apakah ada kekhawatiran dalam dirinya berinteraksi dengan pasien, mengingat usianya masih sangat muda? Dengan cepat Sho menjawab, “Yes, oh no, orang-orang sering bergurau, menyarankan agar aku menumbuhkan jenggot dan kumis agar terlihat lebih tua.,” katanya terbahak.

Dalam usia sekecil itu, apakah tidak takut ketika harus membedah mayat? “Oh pada mulanya itu pengalaman yang agak aneh –semua mahasiswa kedokteran pasti mengalaminya. Tapi lama-lama terbiasa, bahkan aku bisa bersenang-senang setiap hari. Dan memang itulah yang terjadi.” ujar Sho menutup pembicaraan.(zrp/CNN)

Leave a comment